Sebuah prolog
(dinyanyikan oleh tukang cerita wayang gemuk di pasar)
memperkenalkan mereka sebagai avatar leluhur mitos mereka dan menunjukkan bahwa
nasib mereka ditakdirkan, meskipun juga menegaskan bahwa 'kebenaran' adalah
masalah pendapat. Adalah Siti (Artika Sari Devi), seorang mantan penari yang
menikah dengan Setio (Martinus Miroto), pengusaha keramik yang berusaha
bertahan di tengah iklim ketimpangan sosial yang terutama didalangi angkara
murka pengusaha-penguasa setempat, Ludiro (Eko Supriyanto). Kesibukan Setio
dalam berbisnis membuat Siti kerap kesepian, dan di balik setiap lubang,
mengintip hasrat Ludiro yang diam-diam menginginkan Siti. Bukan kebetulan jika
ketiganya diceritakan pernah terlibat dalam sanggar tari pementasan Ramayana. Afiliasi
karakter terlihat jelas. Siti adalah Sinta, Setio adalah Rama, dan Ludiro jelas
Rahwana.
Tidak seperti
kisah yang hitam-putih, Siti diam-diam menyimpan hasratnya sendiri, dan ia terombang-ambing
di antara pemenuhan hasratnya sendiri dan memenuhi janji setia kepada suami. Seolah
melakonkan apa yang ada di lakon Rama-Sinta ke dalam kehidupan nyata. Kehidupan
Setio-Siti yang berdasarkan usaha pembuatan gerabah goncang ketika perdagangannya
surut. Pada saat yang sama Ludiro, pengusaha kaya, yang sejak lama mencintai
Siti, berusaha merayunya. Ludiro dengan berbagai cara berusaha merebut Siti,
termasuk dengan kekerasan, sementara Setio di tengah ketidakberdayaannya
berusaha mempertahankan Siti dengan cara yang ekstrem juga. Kekerasan menjadi
bayang-bayang utama film ini, meski tampilannya lebih simbolik.
Artika Sari Devi sebagai SITI dan Martinus Miroto sebagai Setio |
Di sini Garin
Nugroho menyodorkan pertanyaan menarik: apakah kodrat wanita hanya sebagai
“ladang garapan” kaum lelaki? Adakah ia hanya segumpal “tanah liat” yang bisa
dibentuk semaunya, seperti ditampilkan dalam adegan luar biasa ketika Setio
mencoba “memahat” Siti bagaikan keramik ciptaannya? Celakanya, ada hal lain
yang ternyata sudah lebih jelas kodratnya: ego lelaki. Rasa frustasi Ludiro
yang cintanya ditolak berbenturan dengan ego Setio yang merasa harga dirinya
dicabik-cabik. Pertemuan bernada keras ini yang akan membawa tragedi demi
tragedi nantinya.
Ludiro bukan anak
favorit desa. Dia terroris penduduk setempat dan memastikan bahwa bisnis
menjadi budak dia dan geng penjahat menari. Ibu Sukesi (Retno Maruti yang
tampil elegan) tahu anaknya adalah masalah, tapi membantu dia merayu Siti pula
dengan kain merah besar. Sukesi jugalah salah satu korban keagungan yang
mungkin berpotensi dilupakan, ibunda Ludiro yang tidak berdaya mencegah
angkara-murka putranya, namun juga menyayanginya sepenuh hati. Adakah ia
terjebak dalam konstruksi tentang kodratnya sebagai perempuan? Di sini sosok
Sukesi menjadi kutub yang berlawanan dengan Siti.Tapi ketundukan macam itu pun
ternyata berbuah penderitaan. Lalu haruskah sikap yang diambil hanya kerelaan,
seperti dipilih Sukesi? Pertanyaan demi pertanyaan tak kunjung terjawab, dan
kita dipaksa merenungkannya.
Ibu Sukesi (Retno Maruti) dan Ludiro (Eko Supriyanto) |
Sementara,
ketimpangan sosial begitu terasa: Ludiro dan anak buahnya menindas semua yang
tidak mau tunduk padanya, dan bahkan berkolusi dengan penguasa setempat yang di
gambarkan dengan dengan orang-orang, yang meski berpakaian ala penari tapi
bertopi tentara. Dengan ketulusan yang dipertanyakan, Setio menggalang
perlawanan terhadap ketidakadilan itu. Tragisnya, yang lebih terlihat justru
nasib orang-orang kecil yang tidak dapat menentukan takdirnya sendiri.
Dianiaya, digiring atau sebaliknya, jadi anjing pengawal yang tunduk di bawah
para tuan. Bagi orang kecil, segalanya serba salah. “…kulo mbenjing tumut
sinten…” (“…saya besok ikut siapa…”), rintih mereka. Sudut pandang rakyat
jelata juga bisa kita temukan dalam sosok pendongeng yang bercerita sambil
memainkan gitar kecil. Dengan bahasa Jawa pesisiran, ia menyuguhkan pengantar
kisah ini dalam gaya khas orang kecil. kejenakaan yang berangkat dari
kegetiran.
Cerita Opera
Jawa merupakan saduran bebas dari epik Ramayana dengan meletakkannya dalam
konteks yang sangat “Indonesia”. Pilihan ini membuat penonton dengan cepat
memiliki ikatan dengan cerita. Semua ditampilkan dengan tari dan tembang yang
mudah-mudahan masih menjadi bagian bawah sadar berkesenian masyarakat kita. Koreografi
tari yang kuat memainkan peranan penting. Ekspresi mentah gerak para penari mampu
menyajikan emosi yang diharapkan. Kita bisa ikut merasakan kejenakaan ketika
para buruh wanita menari-nari mengejek “kekuranglelakian” Setio, yang bisa jadi
cuma dalam benaknya sendiri atau ketika hasrat Siti menggelora dalam tarian
menggunakan kukusan nasi, tergoda bujuk rayu Ludiro yang bersembunyi di balik
lirik tembang yang menceritakan nikmatnya telo (ketela). Di lain waktu, kesan
mencekam begitu terasa lewat gerak liar para penari “barong”, dan adegan
penjebakan di labirin sabut kelapa.
Ini adalah potret
sosial yang kuat, sekaligus komentar yang keras terhadap segala ketidakadilan
yang terjadi di negeri ini. Nadanya terasa begitu akrab, terutama karena
hirarki sosialnya yang khas, membuat penonton bisa langsung menyelami kondisi
masyarakat yang digambarkan dalam Opera Jawa. Satu hal yang ingin saya soroti adalah perihal perilaku
masyarakatnya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, orang kecil lebih sering
hanya tergiring. Dalam percaturan sejarah, sudah jadi nasib orang kecil menjadi
pion, atau seberuntung-beruntungnya jadi orang luar. Maka mereka kerap kali
justru bisa menjadi pengamat yang jujur tentang kebengisan di sekitarnya. Bukan
kebetulan pula jika spirit kejujuran selalu tampil kuat dalam kesenian rakyat
kecil. Di Opera Jawa,
obrolan kopi yang berupa tembang dan lantunan gaya pemain tobong menjadi tampak
begitu polos dan naif, juga jenaka. Menjadi jenaka tampaknya sebuah kutukan
bagi rakyat kecil yang hanya bisa menyisakan senyum pahit di wajah mereka.
menggambarkan kekuasaanya Ludiro |
Sebagai film
yang hendak berbicara pada berbagai level, Opera Jawa dijadikan arena
eksperimen yang berani oleh Garin.Untuk menyampaikan pesan dalam bentuk
metafora yang berlokasi di dunia non-realis, Opera Jawa mendakukan dirinya
sebagai perpaduan berisiko antara medium film, seni tari dan seni rupa. Berisiko,
karena ketiga bentuk medium tersebut memiliki karakter masing-masing yang tidak
mudah didamaikan. Film muski mengaku mampu menggambarkan kejadian nyata kedalam
film, tapi kerapkali bertumpu pada bahasa gambar di atas bahasa rungunya. Seni
tari memiliki kekuatan ala teater, untuk dinikmati geraknya dalam keutuhan,
melalui interaksi yang lebih terlihat realis. Karena interaksi antara pelaku
dan penikmat tari tidak dimediasi lewat satu alat lagi yang “memaksakan” cara
pandang, seperti kamera misalnya. Kedua medium yang berpotensi bertabrakan ini
menjadi bahan berbahaya yang jika tidak diramu dengan baik akan saling
mematikan “rasa”-nya. Sehingga rasa yang ingin dicapai oleh sutradara tidak
sampai ke penonton. Seperti pada adegan Siti yang hendak dikuasai Ludiro dengan
cara keras (dilambangkan lewat sodoran kaki Ludiro) menjadi tidak optimal
karena kamera memaksa penontonnya memandang dari sudut tertentu. Pemilihan
sudut gambar melakukan “kekerasan” terhadap seni geraknya sendiri malah terlihat
kaku. Dalam teater ekspresi pemain harus terlihat dengan jelas, karena ditonton
dari jarak yang agak jauh dari sudut penonton melihat. Sehingga banyak ekspresi
yang akhirnya malah terlihat overacting.
karya para
perupa itu mampu menjadi bagian utuh dari metafor cerita, meski kita bisa
menyaksikan Siti tergoda ratusan lilin yang bagai kunang-kunang, atau terpikat
oleh jalinan kain merah yang begitu tampak bergairah, atau terjebak di labirin
sabut kelapa, mayat kepala putih dan lilin merah dimaksudkan untuk mengingatkan
penonton jumlah korban manusia di balik semua tindakan kekerasan. Tetapi
akhirnya penonton malah terbentur layar.Penonton hanya mampu menjadi pengintip
seperti biasanya.Dengan segala hormat, segala karya seni itu jatuh-jatuhnya
menjadi dekorasi belaka bagi metafor yang hendak dihadirkan.karena akhirnya
harus dinikmati dengan batas kemampuan kamera menangkap gambar bukan kamera
menangkap cerita atau peristiwa.
Tapi semua
kekurangan itu berujung dari kehendak yang berani atas bentuk-bentuk eksperimen,
dan karena itu patut dihargai.Nyatanya perpaduan berbagai bentuk seni ini masih
mampu menghadirkan karya yang menggetarkan.Ada yang tercerabut dari karya senirupa
misalnya, tapi ia masih mampu menyodorkan pengalaman estetis bagi pemirsa. Bagi
saya sebagai penonton, unsur utama penyelamat adalah cerita, yang didukung
akting yang kuat, koreografi tarian dan musik.Secara keseluruhan, kekuatan
ekspresi gerak ini menjadi penjaga utama emosi cerita, sehingga konflik demi
konflik mengalir lancar, mencengkeram para penontonnya hingga mencapai klimaks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar