Minggu, 04 Maret 2012

Opera Jawa “MENONTON OPERA DALAM KACA MATA KAMERA”



Sebuah prolog (dinyanyikan oleh tukang cerita wayang gemuk di pasar) memperkenalkan mereka sebagai avatar leluhur mitos mereka dan menunjukkan bahwa nasib mereka ditakdirkan, meskipun juga menegaskan bahwa 'kebenaran' adalah masalah pendapat. Adalah Siti (Artika Sari Devi), seorang mantan penari yang menikah dengan Setio (Martinus Miroto), pengusaha keramik yang berusaha bertahan di tengah iklim ketimpangan sosial yang terutama didalangi angkara murka pengusaha-penguasa setempat, Ludiro (Eko Supriyanto). Kesibukan Setio dalam berbisnis membuat Siti kerap kesepian, dan di balik setiap lubang, mengintip hasrat Ludiro yang diam-diam menginginkan Siti. Bukan kebetulan jika ketiganya diceritakan pernah terlibat dalam sanggar tari pementasan Ramayana. Afiliasi karakter terlihat jelas. Siti adalah Sinta, Setio adalah Rama, dan Ludiro jelas Rahwana.
Tidak seperti kisah yang hitam-putih, Siti diam-diam menyimpan hasratnya sendiri, dan ia terombang-ambing di antara pemenuhan hasratnya sendiri dan memenuhi janji setia kepada suami. Seolah melakonkan apa yang ada di lakon Rama-Sinta ke dalam kehidupan nyata. Kehidupan Setio-Siti yang berdasarkan usaha pembuatan gerabah goncang ketika perdagangannya surut. Pada saat yang sama Ludiro, pengusaha kaya, yang sejak lama mencintai Siti, berusaha merayunya. Ludiro dengan berbagai cara berusaha merebut Siti, termasuk dengan kekerasan, sementara Setio di tengah ketidakberdayaannya berusaha mempertahankan Siti dengan cara yang ekstrem juga. Kekerasan menjadi bayang-bayang utama film ini, meski tampilannya lebih simbolik.
Artika Sari Devi sebagai SITI dan Martinus Miroto sebagai Setio
Di sini Garin Nugroho menyodorkan pertanyaan menarik: apakah kodrat wanita hanya sebagai “ladang garapan” kaum lelaki? Adakah ia hanya segumpal “tanah liat” yang bisa dibentuk semaunya, seperti ditampilkan dalam adegan luar biasa ketika Setio mencoba “memahat” Siti bagaikan keramik ciptaannya? Celakanya, ada hal lain yang ternyata sudah lebih jelas kodratnya: ego lelaki. Rasa frustasi Ludiro yang cintanya ditolak berbenturan dengan ego Setio yang merasa harga dirinya dicabik-cabik. Pertemuan bernada keras ini yang akan membawa tragedi demi tragedi nantinya.
Ludiro bukan anak favorit desa. Dia terroris penduduk setempat dan memastikan bahwa bisnis menjadi budak dia dan geng penjahat menari. Ibu Sukesi (Retno Maruti yang tampil elegan) tahu anaknya adalah masalah, tapi membantu dia merayu Siti pula dengan kain merah besar. Sukesi jugalah salah satu korban keagungan yang mungkin berpotensi dilupakan, ibunda Ludiro yang tidak berdaya mencegah angkara-murka putranya, namun juga menyayanginya sepenuh hati. Adakah ia terjebak dalam konstruksi tentang kodratnya sebagai perempuan? Di sini sosok Sukesi menjadi kutub yang berlawanan dengan Siti.Tapi ketundukan macam itu pun ternyata berbuah penderitaan. Lalu haruskah sikap yang diambil hanya kerelaan, seperti dipilih Sukesi? Pertanyaan demi pertanyaan tak kunjung terjawab, dan kita dipaksa merenungkannya.
Ibu Sukesi (Retno Maruti) dan Ludiro (Eko Supriyanto)
Sementara, ketimpangan sosial begitu terasa: Ludiro dan anak buahnya menindas semua yang tidak mau tunduk padanya, dan bahkan berkolusi dengan penguasa setempat yang di gambarkan dengan dengan orang-orang, yang meski berpakaian ala penari tapi bertopi tentara. Dengan ketulusan yang dipertanyakan, Setio menggalang perlawanan terhadap ketidakadilan itu. Tragisnya, yang lebih terlihat justru nasib orang-orang kecil yang tidak dapat menentukan takdirnya sendiri. Dianiaya, digiring atau sebaliknya, jadi anjing pengawal yang tunduk di bawah para tuan. Bagi orang kecil, segalanya serba salah. “…kulo mbenjing tumut sinten…” (“…saya besok ikut siapa…”), rintih mereka. Sudut pandang rakyat jelata juga bisa kita temukan dalam sosok pendongeng yang bercerita sambil memainkan gitar kecil. Dengan bahasa Jawa pesisiran, ia menyuguhkan pengantar kisah ini dalam gaya khas orang kecil. kejenakaan yang berangkat dari kegetiran.
Cerita Opera Jawa merupakan saduran bebas dari epik Ramayana dengan meletakkannya dalam konteks yang sangat “Indonesia”. Pilihan ini membuat penonton dengan cepat memiliki ikatan dengan cerita. Semua ditampilkan dengan tari dan tembang yang mudah-mudahan masih menjadi bagian bawah sadar berkesenian masyarakat kita. Koreografi tari yang kuat memainkan peranan penting. Ekspresi mentah gerak para penari mampu menyajikan emosi yang diharapkan. Kita bisa ikut merasakan kejenakaan ketika para buruh wanita menari-nari mengejek “kekuranglelakian” Setio, yang bisa jadi cuma dalam benaknya sendiri atau ketika hasrat Siti menggelora dalam tarian menggunakan kukusan nasi, tergoda bujuk rayu Ludiro yang bersembunyi di balik lirik tembang yang menceritakan nikmatnya telo (ketela). Di lain waktu, kesan mencekam begitu terasa lewat gerak liar para penari “barong”, dan adegan penjebakan di labirin sabut kelapa.
Ini adalah potret sosial yang kuat, sekaligus komentar yang keras terhadap segala ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Nadanya terasa begitu akrab, terutama karena hirarki sosialnya yang khas, membuat penonton bisa langsung menyelami kondisi masyarakat yang digambarkan dalam Opera Jawa. Satu hal yang ingin saya soroti adalah perihal perilaku masyarakatnya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, orang kecil lebih sering hanya tergiring. Dalam percaturan sejarah, sudah jadi nasib orang kecil menjadi pion, atau seberuntung-beruntungnya jadi orang luar. Maka mereka kerap kali justru bisa menjadi pengamat yang jujur tentang kebengisan di sekitarnya. Bukan kebetulan pula jika spirit kejujuran selalu tampil kuat dalam kesenian rakyat kecil. Di Opera Jawa, obrolan kopi yang berupa tembang dan lantunan gaya pemain tobong menjadi tampak begitu polos dan naif, juga jenaka. Menjadi jenaka tampaknya sebuah kutukan bagi rakyat kecil yang hanya bisa menyisakan senyum pahit di wajah mereka.
menggambarkan kekuasaanya Ludiro
Sebagai film yang hendak berbicara pada berbagai level, Opera Jawa dijadikan arena eksperimen yang berani oleh Garin.Untuk menyampaikan pesan dalam bentuk metafora yang berlokasi di dunia non-realis, Opera Jawa mendakukan dirinya sebagai perpaduan berisiko antara medium film, seni tari dan seni rupa. Berisiko, karena ketiga bentuk medium tersebut memiliki karakter masing-masing yang tidak mudah didamaikan. Film muski mengaku mampu menggambarkan kejadian nyata kedalam film, tapi kerapkali bertumpu pada bahasa gambar di atas bahasa rungunya. Seni tari memiliki kekuatan ala teater, untuk dinikmati geraknya dalam keutuhan, melalui interaksi yang lebih terlihat realis. Karena interaksi antara pelaku dan penikmat tari tidak dimediasi lewat satu alat lagi yang “memaksakan” cara pandang, seperti kamera misalnya. Kedua medium yang berpotensi bertabrakan ini menjadi bahan berbahaya yang jika tidak diramu dengan baik akan saling mematikan “rasa”-nya. Sehingga rasa yang ingin dicapai oleh sutradara tidak sampai ke penonton. Seperti pada adegan Siti yang hendak dikuasai Ludiro dengan cara keras (dilambangkan lewat sodoran kaki Ludiro) menjadi tidak optimal karena kamera memaksa penontonnya memandang dari sudut tertentu. Pemilihan sudut gambar melakukan “kekerasan” terhadap seni geraknya sendiri malah terlihat kaku. Dalam teater ekspresi pemain harus terlihat dengan jelas, karena ditonton dari jarak yang agak jauh dari sudut penonton melihat. Sehingga banyak ekspresi yang akhirnya malah terlihat overacting.
karya para perupa itu mampu menjadi bagian utuh dari metafor cerita, meski kita bisa menyaksikan Siti tergoda ratusan lilin yang bagai kunang-kunang, atau terpikat oleh jalinan kain merah yang begitu tampak bergairah, atau terjebak di labirin sabut kelapa, mayat kepala putih dan lilin merah dimaksudkan untuk mengingatkan penonton jumlah korban manusia di balik semua tindakan kekerasan. Tetapi akhirnya penonton malah terbentur layar.Penonton hanya mampu menjadi pengintip seperti biasanya.Dengan segala hormat, segala karya seni itu jatuh-jatuhnya menjadi dekorasi belaka bagi metafor yang hendak dihadirkan.karena akhirnya harus dinikmati dengan batas kemampuan kamera menangkap gambar bukan kamera menangkap cerita atau peristiwa.
Tapi semua kekurangan itu berujung dari kehendak yang berani atas bentuk-bentuk eksperimen, dan karena itu patut dihargai.Nyatanya perpaduan berbagai bentuk seni ini masih mampu menghadirkan karya yang menggetarkan.Ada yang tercerabut dari karya senirupa misalnya, tapi ia masih mampu menyodorkan pengalaman estetis bagi pemirsa. Bagi saya sebagai penonton, unsur utama penyelamat adalah cerita, yang didukung akting yang kuat, koreografi tarian dan musik.Secara keseluruhan, kekuatan ekspresi gerak ini menjadi penjaga utama emosi cerita, sehingga konflik demi konflik mengalir lancar, mencengkeram para penontonnya hingga mencapai klimaks.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar